Salam..
perkenalkan nama saya Andrea Indra Lasmana, laki-laki rantau.
Mungkin sudah tradisi turun temurun di keluarga saya. Awalnya, kuliah mungkin hanya menjadi batu loncatan karena keinginan orang tua dan tuntutan dunia kerja. Dari semenjak SMK, saya menekuni disiplin ilmu teknik mesin. Tak ingin merugi, saya mengambil jurusan teknik mesin juga di universitas yang tergolong tua ini. Karena ketidaktahuan, saya mengambil teknik mesin dengan background pendidikan. Entah apa yang ada dipikiran saya dahulu. Saya baru sadar ketika mengikuti kuliah pengantar pendidikan oleh Bapak Syamsul Hadi, salah satu dosen favorit saya dulu di semester pertama. Ternyata program studi yang saya ambil ini berkonsentrasi untuk mempersiapkan lulusannya menjadi guru SMK. Pak Syamsul menekankan kepada semua mahasiswa di kelasnya pada saat itu bahwa kelak kita akan mempunyai tanggung jawab yang berat. Jadi, untuk mahasiswa yang mungkin merasa salah jurusan, beliau sarankan untuk segera pindah saja. Syok juga saat itu. Bayangkan, saya yang dulu di SMK cukup berandal dan suka buat onar, berpengalaman menjadi ketua ketua kelas dimana kelas tersebut pernah membuat seorang guru biologi menangis dan melaporkannya kepada kepala program studi, sekarang ternyata terperangkap dalam jurang yang mengantar saya menjadi seorang guru. Terlanjur, namun mau bagaimana lagi. Mungkin Allah punya rencana super keren, karena saya yakin, Allah adalah sutradara terbaik di dunia. Ya jalani sajalah. Ternyata benar, ketertarikan saya akan dunia pendidikan dan menjadi seorang guru dibangkitkan lewat kegiatan bakti sosial yang di selenggarakan asrama UM, saya nekat mengajar TK. Laki-laki dan guru TK ? tidak ada masalah. Tanpa disadari, saya sangat menikmatinya. Dengan kegiatan serupa di tahun kedua, saya berinisiatif untuk menjadi guru kelas 2, ketagihan pikir saya.
Singkat cerita, saya yang di semester lima merasa kesepian, butuh refreshing atas segala tugas yang menumpuk, butuh teman lebih banyak untuk senda gurau dan mencari-cari kegiatan untuk menyibukkan diri. Sebab, dulu saya tinggal di asrama yang punya banyak teman dan banyak kegiatan bermanfaat. Sehingga selepas keluar dari asrama, saya merasa hidup di perkuliahan ini datar-datar saja. UKM dan HMJ tidak ada yang cocok, ya mungkin karena ada bau-bau senioritas pada saat penjaringannya dan politik buruk pada perjalanannya, kedua hal yang saya benci. UMengajar, sebenarnya saya sudah tertarik dari awal untuk bergabung pada batch 1, namun terbatas informasi, jadi telat mendaftar. Saya yakin ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri dan mendapatkan banyak pengalaman. Sehingga saya menunggu oprec selanjutnya untuk bergabung dan mengabdi. Dan akhirnya saya bergabung dengan UMengajar di batch 2.
Di UMengajar banyak sekali nilai-nilai pekerti yang saya rasakan dari awal bergabung sampai sekarang ini. Kamu tidak akan mengetahui nilai solidaritas hanya dengan membaca kata-katanya atau menyanyikannya keras-keras seperti jingle mahasiswa teknik mesin seluruh Indonesia. Kamu bisa merasakannya di UMengajar saat kamu bersusah payah bersama teman-teman sekelompokmu untuk membuat media pembelajaran dan strategi pembelajaran menarik, berlatih senam lucu bersama-sama, menyisihkan sebagian uang makannya untuk membeli keperluan media pembelajaran, rapat operasional persiapan pengabdian, yang itu semua dilakukan selepas pulang kuliah hingga malam. Belum lagi ketika kami menunggu kawan satu dan yang lainnya saat pemberangkatan, memakan nasi bekal bersama-sama, kedinginan di Ngadas pada malam harinya, tidur di kantor kepala desa, membuat sarapan dan makan bersama. Mungkin tidak akan ada habisnya jika saya ucapkan semunya. Saya merasakan bertemu dengan keluarga baru disini, yang diam diam saling menyayangi satu sama lainnya.
Kamu tidak akan mengerti kalimat “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain” jika kamu hanya mendalami maknanya tanpa ada usaha untuk melakukannya. Selevel mahasiswa mungkin belum matang ilmunya, pengalamannya, kebijaksanaannya, kedewasaannya. Namun apakah kita hanya akan menunggu, menunggu dan menunggu hingga lulus, kemudian bisa berbagi ilmu dengan sesama. Namun, masih sempatkah itu semua ? belum tentu kita diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa. Mengajar di daerah terpencil dapat membuka mata hati kita, disana kita akan mengerti bahwa sedikit hal yang kita bagikan bisa jadi sesuatu yang amat menginspirasi, memotivasi dan bermanfaat bagi mereka. Berbagi pengalaman dan keberuntungan, memberikan semangat bahwasanya jika mereka juga pasti bisa asal berusaha. Hal-hal tersebut bisa menjadi renungan panjang untuk kami, terutama saya pribadi. Kamu tahu ? kedatangan kami sangat dinanti oleh adik adik di Ngadas, Tangkil sari dan Randugading. Mereka tidak menganggap kami sebagai seorang guru, melainkan kakak-kakak yang mengantarkan senyuman dan pengalaman yang mungkin masih secuil dibandingkan dengan level guru besar dan professor. Itu menjadikan mereka sangat dekat dengan kami. Ketagihan, ketagihan dan ketagihan yang kami rasakan untuk mengajar mereka semua. UMengajar serasa sudah menjadi bagian dari sekolah pengabdian.
Kamu tidak akan mengerti dan dapat berlapang dada untuk mengakui jika kamu bisa belajar dari siapa saja, dari yang tua atau yang muda, dari yang ahli maupun seorang yang polos sekalipun, dari segala hal yang sering kita tidak sadari dan kita remehkan. Ini terbukti saat pengabdian jilid 2 saya untuk mengajar adik-adik di Randugading. Selepas kami belajar bahasa inggris, kami lanjutkan dengan pelajaran kesenian. Saya beserta partner mengajar, menginstruksikan untuk membuat layang-layang. Sebelumnya, saya tidak pernah membuat layang-layang sendiri, sehingga pada saat pra pengabdian saya berlatih membuat layang-layang buatan sendiri. Ini sebuah pengalaman baru bagi saya. Pada hari itu, saya memberikan contoh cara membuat layang-layang didepan kelas. Cukup lama, karena saya kurang ahli. Setelahnya mereka mempraktikannya. Beberapa adik-adik perempuan kesulitan untuk membuatnya. Saya hendak membantu, namun salah satu siswa laki-laki menawarkan bantuannya sambil mempraktikan untuk mengajari temannya. Saya takjub sekali, dia sangat lihai dan cepat membuat layangan. Dan dia berkata “yang betul itu seperti ini kak, terus bisa lebih cepet buatnya”. Saya sedikit malu juga pada saat itu. “adek sering buat layangan sediri ?” Tanya saya penasaran. Dan ternyata benar, dia sudah terbiasa membuat layangan sendiri. Ketimbang beli, jelasnya. Disitu saya sadar, sebenarnya kita juga dapat belajar sesuatu dari mereka semua. Rasa malu pun hilang dan saya malah ikut belajar membuat layangan yang baik pada adik tersebut.
Saya ingat betul kalimat yang sering diucapkan oleh Bapak Pembina kami di UMengajar, Bapak I Nyoman Ruja yaitu “lakukan semuanya karena ibadah”. Mengabdi lewat UMengajar selain karena panggilan jiwa juga semata-mata karena untuk beribadah, menjadikan diri bermanfaat untuk sesama mahluk ciptaan tuhan sebagai rasa bersyukur kita karena telah diberi kecukupan, dapat mengenyam bangku pendidikan yang layak, dapat merasakan pengalaman pengalaman yang menakjubkan. Saya berharap, kamu yang membaca ini sedikit tergerak hatinya, kita butuh kawan-kawan semua untuk mencerdaskan tunas harapan bangsa walau ini mungkin tergolong sebuah langkah kecil. Kami tunggu kehadiran teman-teman untuk bergabung bersama kami di UMengajar.
Sangat inspiratif sekali, terus berkarya dan mengabdi ya kak :)
BalasHapusKereeennn kak.
BalasHapus