Kak,
Adik-Adik Kita kecepeten
Dewasa!
Peringkat 1 Lomba Penulisan Esai UMengajar
Oleh Ahmad Fauzi dari Universitas Brawijaya
Siswi
a:Ara Jok tek awamu seng mari dileboni ******e Rio?
Bales
(Ara Jok
punyamu yang
habis dimasuki *****nya Rio? Balas)
Siswi
b:Amu ambek Hendrik endek kamar wong loro
(kamu sama Hendrik di kamar berdua)
Siswi
a:Ora jok(enggak, Jok)
Siswi
b: Walah ngakuo amu tambah sampai mejen sampek semapot (Walah ngaku aja, kamumalah sampai macet sampai pingsan)
Siswi
a:Amu emben lak wesnduwe bojo yo ngunu ngampek pejumu ake (kamu nanti kalau sudah punya suami, ya, begitu sampai pejumu banyak)
Chatting itu dilakukan menggunakan kertas[2],
yang sengaja diperoleh teman-teman pengajar Brawijaya
Mengajar (BM) dari salah satu siswi kelas IV. Chattingitu
diduga terjadi saat jam pelajaran, sebab, saat diperoleh usai kelas, sobekan masih
terlihat baru.
Jika
dicermati, kedua siswi itu sedang saling tuduh dansaling mengelak. Keduanya
terlihat saling memiliki dugaan tentang perilaku seksual yang saling mereka
lakukan. Dan pada barisan terakhir chatting itu, kita dapat melihat, kak,
bahwa sepertinya, pengetahuan seksual adik-adik kita telah melampui batas
normal usianya. Bahkan, kalau boleh menduga, aktivitas bersetubuh layaknya
suami-istri sangat dekat dengan kehidupan adik-adik kita. Atau bahkan, melihat dari
keseluruhanchatting itu, sepertinya adik-adik kita itu, kak, sudah
pernah bersetubuh!
Sayangnya,
teman-teman pengajar tidak mendatangi langsung kedua siswi yang terlibat dalam chattingitu
untuk memastikan kebenaranyang mereka cakapkan. Saya melihat ada ekspresi kaget
luarbiasa dari teman-teman. Sebab, baru ini mereka menghadapi adik-adik dengan
persoalan seksual demikian. Barangkali memang karena tidak memiliki spesifikasi
keilmuan untuk melakukan itu. Juga, bagi mereka, perbincangan terbuka mengenai
seks dengan adik-adik dianggap terlalu tabu. Ya, nyatanya kita yang dewasapun
masih terhalang tembok moral untuk sekedar membicarakannya.
Tetapi,
kak, bagaiamana bisa pengetahuan seks adik-adik kitasudah begitu jauhnya?
Meski
tidak beroleh konfirmasi dari kedua siswi yang disangka itu, “yaitu apakah benar
mereka melakukan hubungan seks dengan teman bermainnya”, tetapi temuan chatting
itu tentu membuat kita tercengang, “sumpah anak SD sudah pernah begituan?”.
Minimaltranskrip
itu akan mendobrakapa yang selama ini kita bayangkan tentang dunia
anak-anak. Ibarat baru saja mendapat kabar terburuk, nurani kita serasa
menggeliat perih. Coba, kak,mari kita plays-back masa kecil kita
lewat pertanyaan, “apa yang dulu sudah kita lakukan ketika seusia SD?”. Saya
yakin banyak dari kita jauh dari dunia kayak begituan. Barangkali kita
menikmati masa kecil yang, saya bilang, kebetulan berada di jalan yang lebih
lurus.Yah, minimal nggak gitu-gitu amat.
Seperti
yang umum diketahui tentang dunia anak SD, pasti nggak jauh-jauh dari permainan,
misalnya lari-larian, gendong-gendongan, dampar, jumpritan,
‘gedrek, atau sekedarsaling ledekkalau ada teman duduk bersebalahan
dengan teman lawan jenis kelamin. Tetapi, transkrip chatting itu memaksa
kita menghadapi kenyataan lain, “ternyata ada, ya, di sekitar kita dunia anak
yang wowseperti itu?”.
Masalah
seksualitas adik-adik kita itu sebenarnya sama kayak masalah korupsi.
Yaitu seperti ibaratnya gunung es. Transkripchatting siswi itu sekedar temuan
bagiankecil saja dari persoalan yang sebenarnya ada. Dan soal seksualitas tentu
hanya satu dari sekian persoalan dunia pendidikan.
Fenomena
yang serupa lainnya, yang juga secara langsung saya hadapi, adalah di salah
satu SDN di Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Dari siswa/i sekolah
ini, saya sering mendengar ceplosan dan tingkah adik-adik yang porno. Seperti
suatu ketika seorang siswa kelas tiga, badannya agak subur,nyeplosdengan
polos;
“kak
sampean tau ngene? (kak, kamu pernah gini?)”,
sambil
menunjukkan jari jempolnya yang diapit oleh jari telunjuk dan tengah (yang
dewasa pasti ngerti maksudnya). Jelas, yang begituan itu akan membuat
para pecinta dunia pendidikan, galau. Ya, tak terduga adik-adik kita
terlalu cepat “dewasa”!
Sedangkan
menurut ahli pendidikan seks anak, pada usia kelas empat SD, seperti dikutip
dari pondokibu.com (2013), seharusnya masih pada tahap pengenalan
perubahan-perubahan biologis pada anggota tubuhnya.Misalnya anak mulai
dikenalkan tentangtumbuhnya bulu pada kelamin bagilaki-laki atau menstruasi bagi
perempuan. Pada tahap ini anak mulai distimulasi untuk mengenali bagian tubuhnya
sendiri, misalnya juga mengetahui bagian tubuh tertentu yang tidak boleh dipegang
orang lain. Perkembangan pengetahuan anak tentang seksualitas inipun mestinya
melalui pendampingan yang serius
Lalu,
terkait aktivitas serta level pengetahuan seksualitas adik-adik kita di atas, “dari
mana, ya, mereka tahu? Bukankah itu terlalu cepat buat seusia mereka?” Menurut
Diana (2012), seorang ahli anak, orangtualah yang seharusnya menjadi sumber utama
pengetahuan seksualitas anak. Orangtua dituntut memiliki kepekaan, ketrampilan,
dan pemahaman. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya selama berkegiatan di
lapang, kondisi keluarga di sana sangatlah tidak kondusif untuk melakukan
fungsi-fungsi tersebut. Orangtua siswa sebagian besar bekerja dikebun,
berangkat sebelum pagi dan pulang setelah sore. Sehingga kehadiran orangtua
untuk anaknya sangatlah minim.
Jadi
di sana terdapat persoalan ekonomi keluarga yang membuat situasi kurang
mendukungbagi perkembangan pendidikan anak secara positif. Lalu apakah kemudian
kita, sebagai pemuda terdidik, akan melakukan aksi demo atau menyebarkan hashtag
tertentu untuk menuntut pemerintah agar memperhatikan nasiborangtua
adik-adik kita itu, sehingga orangtua sejahtera dan mampu fokus pada
anak-anaknya? Saya kira itu reaksi kuno, tidak konstruktif dan tidak memberi
efek langsung dan nyata pada level akar rumput.
Sikap
konstruktif dan membangun, menurut Anies Baswedan (dalam Yanuardi, 2014), masih
terlihat kurang dalam gerakan pemuda. Sebab, justru sikap oposisi yang sampai
hari ini masih menjadi ciri umum gerakan pemuda, seperti halnya demonstrasi,
sehingga, harusnya, mulai diimbangi dengan sikap praktis yang ngena pada
titik persoalan. Kita, sebagai pemuda terdidik, harus bisa berkontribusi
memberi jalan keluar persoalan kemasyarakatan, agar kampus/ sekolah tidak
menjadi menara gading (Husnil, 2014).
Rekayasa Masa Depan
”Akar dari pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis”
(Aristoteles, 384 SM-322 SM)
Hitungan
jarak adik-adik kita itudengan tempat kita setiap hari menikmati baiknya
fasilitas pendidikan, tidak jauh. Hanya hitungan “kilometer”. Mereka ada tersebar
di sekitaran Pujon, Dampit, Poncokusumo, dan daerah lain yang masih relatif mudah
untuk diakses, atau bahkan bisa jadi mereka ini berseliweran di sekitar kita.
Akan tetapi, kak, jarak moral dan kesempatan menikmati pendidikan yang
baik, bukankah terlihat amat jauh?
Maka,
apa yang bisa kita kerjakan? Jawabku, hadir!
Iuran
terbesar dan terpenting dalam pendidikan itu adalah kehadiran, kata Anies,
dalam surat yang ditujukan kepada profesional untuk “cuti sehari, seumur
hidup menginspirasi” dalam Kelas Inspirasi.
Dengan
hadir, kita pangkas jarak itu!Ya, memang tidak mudah, seperti apa yang
Aristoteles bilang; dunia pendidikan itu pahit.
Saya
teringat apa yang terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika masih menjadi bagian
dari BM. Saat itu sedang di akhir periode kepengurusan, oleh karena itu,
seperti biasa, kami menyusun agenda sebagai bahan evaluasi program serta diagnosa
permasalahan siswa/i yang kami ajar. Salah satu temuan yang sampai saat ini
sangat saya ingat adalah tentang cita-cita adik-adik kami.
Berbeda
dengan kebanyakan siswa/i lain, yang pada umumnya bercita-cita menjadi dokter,
polisi, pilot, fotografer, atau tentara, adik-adik kamiini bercita-cita menjadi
ustadz, penjual bakso, berkebun, atau menjadi muslimah. Inspirasi mereka
terbatasdari orang yang ada di sekitar mereka, orangtua atau tetangga. Tentu bukan
berarti cita-cita seperti itu tidak baik atau rendah. Tetapi, yang dapat
dilihat dari situ adalah, berdasarkan pemahaman umumnya, bahwa terdapat jarak capaian
pengetahuan yang terlalu lebar antara siswa/i pada umumnya dengan adik-adik
kami ini, ada masalah ketimpangan kualitas pendidikan di sana.
Masalah
ini saya kira persis dengan masalah seksualitas adik-adik kita di atas. Bahwa
masalahnya adalah disebabkan oleh minimnya kehadiran sosok inspirator.
Adik-adik kita ini membutuhkan kehadiranrole-model untuk menanamkan
nilai-nilai norma, moral, serta pengetahuan yang luas sebagai bahan baku inspirasi
yang belumtersediadi lingkungan sekitar mereka.
Kehadiran
guru yang setiap hari mengajar adik-adik kita itu tentu menjadi perhitungan
penting. Tetapi menurut saya, fungsi hadirnya kitabukan dalam bingkai formal
untuk meningkatkan nilai angka mata pelajaran. Ini sudah dilakukan oleh guru.
Tetapi kita hadir sebagai “teman belajar”untuk menambahpengalaman-pengalaman,
mem-booster mimpi, dan merekayasa masa depan adik-adik kita.
Dengan
posisi sebagai teman belajar itu, adik-adik kita dapat lebih terbuka,
menampakkan “kepolosannya” yang—seringkali—tertutup oleh situasi kelas yang dibuat
disiplin. Sebab, situasi tenang, teratur, dan rapi dalam kelas itu justru menjadi
tempat persembunyian masalah yang sebenarnya. Dengan keterbukaan yang apa
adanya, kita dapat menemukan masalah serta menentukan diagnosis moral,
misalnya, dengan tepat.
Dengan
posisi itu, kitadapatmenanami benak mereka dengan cita-cita. Hal ini bisa dilakukan
dengan menghadirkan diri kita sebagai “replika” seorang dokter, polisi, atau pilot, misalnya; memberi contoh
nyata cita-cita. Selain itu, kita dapat hadir juga dengan membawa kisah-kisah inspiratif
dengan berbagai cara yang unik, menggunakan alat-alat peraga audio-video-visual
yang representatif, misalnya.
Cara-caratersebut,
mengutip artikel yang dimuat www.dayapesona.com (2014), sangat efektif
untuk menjaga imajinasi kreatif anak, dan padakontekspersoalan seksualitasdalam
esai ini, dapat menumbuhkan imajinasi yang sesuai usia. Mengalihkan perhatian
adik-adik kita dari dunia seks yang demikian itu. Sehingga dengan demikian,
kita dapat menempatkan kembali adik-adik kita itu “ke masa anak-anaknya”.
DAFTAR PUSTAKA
Husnil, Muhammad. 2014. Melunasi Janji
Kemerdekaan: Biografi Anies Rasyid Baswedan. Jakarta: Zaman.
Syukur, Yanuardi. 2014.Anies Baswedan:
Mendidik Indonesia. Jogjakarta: Giga Pustaka.
Diana.“Pendidikan Seks untuk Anak: Perlu
atau Tabu?”. https://www.tanyadok.com/anak/pendidikan-seks-untuk-anak-perlu-atau-tabu.
(akses 23 Januari 2016)
“Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja”.www.pondokibu.com/pentingnya-pendidikan-seks-untuk-remaja.html.(akses 24 Januari 2016)
“Pentingnya Merangsang Daya Imajinasi Anak”.www.dayapesona.com/2015/03/pentingnya-merangsang-daya-imajinasi-anak.
(akses 24 Januari 2016)
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV
[1] Foto kertas percakapan terlampir.
[2] Kertas percakapan ini ditemukan di kelas IV salah satu sekolah dasar
negeri (SDN) di Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.
Judul: Kak,
Adik-Adik Kita kecepeten
Dewasa!
Siswi
a:Ara Jok tek awamu seng mari dileboni ******e Rio?
Bales
(Ara Jok
punyamu yang
habis dimasuki *****nya Rio? Balas)
Siswi
b:Amu ambek Hendrik endek kamar wong loro
(kamu sama Hendrik di kamar berdua)
Siswi
a:Ora jok(enggak, Jok)
Siswi
b: Walah ngakuo amu tambah sampai mejen sampek semapot (Walah ngaku aja, kamumalah sampai macet sampai pingsan)
Siswi
a:Amu emben lak wesnduwe bojo yo ngunu ngampek pejumu ake (kamu nanti kalau sudah punya suami, ya, begitu sampai pejumu banyak)
Chatting itu dilakukan menggunakan kertas[2],
yang sengaja diperoleh teman-teman pengajar Brawijaya
Mengajar (BM) dari salah satu siswi kelas IV. Chattingitu
diduga terjadi saat jam pelajaran, sebab, saat diperoleh usai kelas, sobekan masih
terlihat baru.
Jika
dicermati, kedua siswi itu sedang saling tuduh dansaling mengelak. Keduanya
terlihat saling memiliki dugaan tentang perilaku seksual yang saling mereka
lakukan. Dan pada barisan terakhir chatting itu, kita dapat melihat, kak,
bahwa sepertinya, pengetahuan seksual adik-adik kita telah melampui batas
normal usianya. Bahkan, kalau boleh menduga, aktivitas bersetubuh layaknya
suami-istri sangat dekat dengan kehidupan adik-adik kita. Atau bahkan, melihat dari
keseluruhanchatting itu, sepertinya adik-adik kita itu, kak, sudah
pernah bersetubuh!
Sayangnya,
teman-teman pengajar tidak mendatangi langsung kedua siswi yang terlibat dalam chattingitu
untuk memastikan kebenaranyang mereka cakapkan. Saya melihat ada ekspresi kaget
luarbiasa dari teman-teman. Sebab, baru ini mereka menghadapi adik-adik dengan
persoalan seksual demikian. Barangkali memang karena tidak memiliki spesifikasi
keilmuan untuk melakukan itu. Juga, bagi mereka, perbincangan terbuka mengenai
seks dengan adik-adik dianggap terlalu tabu. Ya, nyatanya kita yang dewasapun
masih terhalang tembok moral untuk sekedar membicarakannya.
Tetapi,
kak, bagaiamana bisa pengetahuan seks adik-adik kitasudah begitu jauhnya?
Meski
tidak beroleh konfirmasi dari kedua siswi yang disangka itu, “yaitu apakah benar
mereka melakukan hubungan seks dengan teman bermainnya”, tetapi temuan chatting
itu tentu membuat kita tercengang, “sumpah anak SD sudah pernah begituan?”.
Minimaltranskrip
itu akan mendobrakapa yang selama ini kita bayangkan tentang dunia
anak-anak. Ibarat baru saja mendapat kabar terburuk, nurani kita serasa
menggeliat perih. Coba, kak,mari kita plays-back masa kecil kita
lewat pertanyaan, “apa yang dulu sudah kita lakukan ketika seusia SD?”. Saya
yakin banyak dari kita jauh dari dunia kayak begituan. Barangkali kita
menikmati masa kecil yang, saya bilang, kebetulan berada di jalan yang lebih
lurus.Yah, minimal nggak gitu-gitu amat.
Seperti
yang umum diketahui tentang dunia anak SD, pasti nggak jauh-jauh dari permainan,
misalnya lari-larian, gendong-gendongan, dampar, jumpritan,
‘gedrek, atau sekedarsaling ledekkalau ada teman duduk bersebalahan
dengan teman lawan jenis kelamin. Tetapi, transkrip chatting itu memaksa
kita menghadapi kenyataan lain, “ternyata ada, ya, di sekitar kita dunia anak
yang wowseperti itu?”.
Masalah
seksualitas adik-adik kita itu sebenarnya sama kayak masalah korupsi.
Yaitu seperti ibaratnya gunung es. Transkripchatting siswi itu sekedar temuan
bagiankecil saja dari persoalan yang sebenarnya ada. Dan soal seksualitas tentu
hanya satu dari sekian persoalan dunia pendidikan.
Fenomena
yang serupa lainnya, yang juga secara langsung saya hadapi, adalah di salah
satu SDN di Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Dari siswa/i sekolah
ini, saya sering mendengar ceplosan dan tingkah adik-adik yang porno. Seperti
suatu ketika seorang siswa kelas tiga, badannya agak subur,nyeplosdengan
polos;
“kak
sampean tau ngene? (kak, kamu pernah gini?)”,
sambil
menunjukkan jari jempolnya yang diapit oleh jari telunjuk dan tengah (yang
dewasa pasti ngerti maksudnya). Jelas, yang begituan itu akan membuat
para pecinta dunia pendidikan, galau. Ya, tak terduga adik-adik kita
terlalu cepat “dewasa”!
Sedangkan
menurut ahli pendidikan seks anak, pada usia kelas empat SD, seperti dikutip
dari pondokibu.com (2013), seharusnya masih pada tahap pengenalan
perubahan-perubahan biologis pada anggota tubuhnya.Misalnya anak mulai
dikenalkan tentangtumbuhnya bulu pada kelamin bagilaki-laki atau menstruasi bagi
perempuan. Pada tahap ini anak mulai distimulasi untuk mengenali bagian tubuhnya
sendiri, misalnya juga mengetahui bagian tubuh tertentu yang tidak boleh dipegang
orang lain. Perkembangan pengetahuan anak tentang seksualitas inipun mestinya
melalui pendampingan yang serius
Lalu,
terkait aktivitas serta level pengetahuan seksualitas adik-adik kita di atas, “dari
mana, ya, mereka tahu? Bukankah itu terlalu cepat buat seusia mereka?” Menurut
Diana (2012), seorang ahli anak, orangtualah yang seharusnya menjadi sumber utama
pengetahuan seksualitas anak. Orangtua dituntut memiliki kepekaan, ketrampilan,
dan pemahaman. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya selama berkegiatan di
lapang, kondisi keluarga di sana sangatlah tidak kondusif untuk melakukan
fungsi-fungsi tersebut. Orangtua siswa sebagian besar bekerja dikebun,
berangkat sebelum pagi dan pulang setelah sore. Sehingga kehadiran orangtua
untuk anaknya sangatlah minim.
Jadi
di sana terdapat persoalan ekonomi keluarga yang membuat situasi kurang
mendukungbagi perkembangan pendidikan anak secara positif. Lalu apakah kemudian
kita, sebagai pemuda terdidik, akan melakukan aksi demo atau menyebarkan hashtag
tertentu untuk menuntut pemerintah agar memperhatikan nasiborangtua
adik-adik kita itu, sehingga orangtua sejahtera dan mampu fokus pada
anak-anaknya? Saya kira itu reaksi kuno, tidak konstruktif dan tidak memberi
efek langsung dan nyata pada level akar rumput.
Sikap
konstruktif dan membangun, menurut Anies Baswedan (dalam Yanuardi, 2014), masih
terlihat kurang dalam gerakan pemuda. Sebab, justru sikap oposisi yang sampai
hari ini masih menjadi ciri umum gerakan pemuda, seperti halnya demonstrasi,
sehingga, harusnya, mulai diimbangi dengan sikap praktis yang ngena pada
titik persoalan. Kita, sebagai pemuda terdidik, harus bisa berkontribusi
memberi jalan keluar persoalan kemasyarakatan, agar kampus/ sekolah tidak
menjadi menara gading (Husnil, 2014).
Rekayasa Masa Depan
”Akar dari pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis”
(Aristoteles, 384 SM-322 SM)
Hitungan
jarak adik-adik kita itudengan tempat kita setiap hari menikmati baiknya
fasilitas pendidikan, tidak jauh. Hanya hitungan “kilometer”. Mereka ada tersebar
di sekitaran Pujon, Dampit, Poncokusumo, dan daerah lain yang masih relatif mudah
untuk diakses, atau bahkan bisa jadi mereka ini berseliweran di sekitar kita.
Akan tetapi, kak, jarak moral dan kesempatan menikmati pendidikan yang
baik, bukankah terlihat amat jauh?
Maka,
apa yang bisa kita kerjakan? Jawabku, hadir!
Iuran
terbesar dan terpenting dalam pendidikan itu adalah kehadiran, kata Anies,
dalam surat yang ditujukan kepada profesional untuk “cuti sehari, seumur
hidup menginspirasi” dalam Kelas Inspirasi.
Dengan
hadir, kita pangkas jarak itu!Ya, memang tidak mudah, seperti apa yang
Aristoteles bilang; dunia pendidikan itu pahit.
Saya
teringat apa yang terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika masih menjadi bagian
dari BM. Saat itu sedang di akhir periode kepengurusan, oleh karena itu,
seperti biasa, kami menyusun agenda sebagai bahan evaluasi program serta diagnosa
permasalahan siswa/i yang kami ajar. Salah satu temuan yang sampai saat ini
sangat saya ingat adalah tentang cita-cita adik-adik kami.
Berbeda
dengan kebanyakan siswa/i lain, yang pada umumnya bercita-cita menjadi dokter,
polisi, pilot, fotografer, atau tentara, adik-adik kamiini bercita-cita menjadi
ustadz, penjual bakso, berkebun, atau menjadi muslimah. Inspirasi mereka
terbatasdari orang yang ada di sekitar mereka, orangtua atau tetangga. Tentu bukan
berarti cita-cita seperti itu tidak baik atau rendah. Tetapi, yang dapat
dilihat dari situ adalah, berdasarkan pemahaman umumnya, bahwa terdapat jarak capaian
pengetahuan yang terlalu lebar antara siswa/i pada umumnya dengan adik-adik
kami ini, ada masalah ketimpangan kualitas pendidikan di sana.
Masalah
ini saya kira persis dengan masalah seksualitas adik-adik kita di atas. Bahwa
masalahnya adalah disebabkan oleh minimnya kehadiran sosok inspirator.
Adik-adik kita ini membutuhkan kehadiranrole-model untuk menanamkan
nilai-nilai norma, moral, serta pengetahuan yang luas sebagai bahan baku inspirasi
yang belumtersediadi lingkungan sekitar mereka.
Kehadiran
guru yang setiap hari mengajar adik-adik kita itu tentu menjadi perhitungan
penting. Tetapi menurut saya, fungsi hadirnya kitabukan dalam bingkai formal
untuk meningkatkan nilai angka mata pelajaran. Ini sudah dilakukan oleh guru.
Tetapi kita hadir sebagai “teman belajar”untuk menambahpengalaman-pengalaman,
mem-booster mimpi, dan merekayasa masa depan adik-adik kita.
Dengan
posisi sebagai teman belajar itu, adik-adik kita dapat lebih terbuka,
menampakkan “kepolosannya” yang—seringkali—tertutup oleh situasi kelas yang dibuat
disiplin. Sebab, situasi tenang, teratur, dan rapi dalam kelas itu justru menjadi
tempat persembunyian masalah yang sebenarnya. Dengan keterbukaan yang apa
adanya, kita dapat menemukan masalah serta menentukan diagnosis moral,
misalnya, dengan tepat.
Dengan
posisi itu, kitadapatmenanami benak mereka dengan cita-cita. Hal ini bisa dilakukan
dengan menghadirkan diri kita sebagai “replika” seorang dokter, polisi, atau pilot, misalnya; memberi contoh
nyata cita-cita. Selain itu, kita dapat hadir juga dengan membawa kisah-kisah inspiratif
dengan berbagai cara yang unik, menggunakan alat-alat peraga audio-video-visual
yang representatif, misalnya.
Cara-caratersebut,
mengutip artikel yang dimuat www.dayapesona.com (2014), sangat efektif
untuk menjaga imajinasi kreatif anak, dan padakontekspersoalan seksualitasdalam
esai ini, dapat menumbuhkan imajinasi yang sesuai usia. Mengalihkan perhatian
adik-adik kita dari dunia seks yang demikian itu. Sehingga dengan demikian,
kita dapat menempatkan kembali adik-adik kita itu “ke masa anak-anaknya”.
DAFTAR PUSTAKA
Husnil, Muhammad. 2014. Melunasi Janji
Kemerdekaan: Biografi Anies Rasyid Baswedan. Jakarta: Zaman.
Syukur, Yanuardi. 2014.Anies Baswedan:
Mendidik Indonesia. Jogjakarta: Giga Pustaka.
Diana.“Pendidikan Seks untuk Anak: Perlu
atau Tabu?”. https://www.tanyadok.com/anak/pendidikan-seks-untuk-anak-perlu-atau-tabu.
(akses 23 Januari 2016)
“Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja”.www.pondokibu.com/pentingnya-pendidikan-seks-untuk-remaja.html.(akses 24 Januari 2016)
“Pentingnya Merangsang Daya Imajinasi Anak”.www.dayapesona.com/2015/03/pentingnya-merangsang-daya-imajinasi-anak.
(akses 24 Januari 2016)
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV
Komentar
Posting Komentar