Langsung ke konten utama

Kak, Adik-Adik Kita kecepeten Dewasa! (Peringkat 1)



Kak, Adik-Adik Kita kecepeten Dewasa!
Peringkat 1 Lomba Penulisan Esai UMengajar 
Oleh Ahmad Fauzi dari Universitas Brawijaya
 


Siswi a:Ara Jok tek awamu seng mari dileboni ******e Rio? Bales
(Ara     Jok punyamu yang habis dimasuki *****nya Rio? Balas)
Siswi b:Amu ambek Hendrik endek kamar wong loro
(kamu sama Hendrik di kamar berdua)
Siswi a:Ora jok(enggak, Jok)
Siswi b: Walah ngakuo amu tambah sampai mejen sampek semapot            (Walah ngaku aja, kamumalah sampai macet sampai pingsan)
Siswi a:Amu emben lak wesnduwe bojo yo ngunu ngampek pejumu ake      (kamu nanti kalau sudah punya suami, ya, begitu sampai pejumu        banyak)
            (Transkrip chatting antar siswi kelas IV sekolah dasar (SD))[1]
Chatting itu dilakukan menggunakan kertas[2], yang sengaja diperoleh teman-teman pengajar Brawijaya Mengajar (BM) dari salah satu siswi kelas IV. Chattingitu diduga terjadi saat jam pelajaran, sebab, saat diperoleh usai kelas, sobekan masih terlihat baru.
Jika dicermati, kedua siswi itu sedang saling tuduh dansaling mengelak. Keduanya terlihat saling memiliki dugaan tentang perilaku seksual yang saling mereka lakukan. Dan pada barisan terakhir chatting itu, kita dapat melihat, kak, bahwa sepertinya, pengetahuan seksual adik-adik kita telah melampui batas normal usianya. Bahkan, kalau boleh menduga, aktivitas bersetubuh layaknya suami-istri sangat dekat dengan kehidupan adik-adik kita. Atau bahkan, melihat dari keseluruhanchatting itu, sepertinya adik-adik kita itu, kak, sudah pernah bersetubuh!
Sayangnya, teman-teman pengajar tidak mendatangi langsung kedua siswi yang terlibat dalam chattingitu untuk memastikan kebenaranyang mereka cakapkan. Saya melihat ada ekspresi kaget luarbiasa dari teman-teman. Sebab, baru ini mereka menghadapi adik-adik dengan persoalan seksual demikian. Barangkali memang karena tidak memiliki spesifikasi keilmuan untuk melakukan itu. Juga, bagi mereka, perbincangan terbuka mengenai seks dengan adik-adik dianggap terlalu tabu. Ya, nyatanya kita yang dewasapun masih terhalang tembok moral untuk sekedar membicarakannya.
Tetapi, kak, bagaiamana bisa pengetahuan seks adik-adik kitasudah begitu jauhnya?
Meski tidak beroleh konfirmasi dari kedua siswi yang disangka itu, “yaitu apakah benar mereka melakukan hubungan seks dengan teman bermainnya”, tetapi temuan chatting itu tentu membuat kita tercengang, “sumpah anak SD sudah pernah begituan?”.
Minimaltranskrip itu akan mendobrakapa yang selama ini kita bayangkan tentang dunia anak-anak. Ibarat baru saja mendapat kabar terburuk, nurani kita serasa menggeliat perih. Coba, kak,mari kita plays-back masa kecil kita lewat pertanyaan, “apa yang dulu sudah kita lakukan ketika seusia SD?”. Saya yakin banyak dari kita jauh dari dunia kayak begituan. Barangkali kita menikmati masa kecil yang, saya bilang, kebetulan berada di jalan yang lebih lurus.Yah, minimal nggak gitu-gitu amat.
Seperti yang umum diketahui tentang dunia anak SD, pasti nggak jauh-jauh dari permainan, misalnya lari-larian, gendong-gendongan, dampar, jumpritan, ‘gedrek, atau sekedarsaling ledekkalau ada teman duduk bersebalahan dengan teman lawan jenis kelamin. Tetapi, transkrip chatting itu memaksa kita menghadapi kenyataan lain, “ternyata ada, ya, di sekitar kita dunia anak yang wowseperti itu?”.
Masalah seksualitas adik-adik kita itu sebenarnya sama kayak masalah korupsi. Yaitu seperti ibaratnya gunung es. Transkripchatting siswi itu sekedar temuan bagiankecil saja dari persoalan yang sebenarnya ada. Dan soal seksualitas tentu hanya satu dari sekian persoalan dunia pendidikan.
Fenomena yang serupa lainnya, yang juga secara langsung saya hadapi, adalah di salah satu SDN di Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Dari siswa/i sekolah ini, saya sering mendengar ceplosan dan tingkah adik-adik yang porno. Seperti suatu ketika seorang siswa kelas tiga, badannya agak subur,nyeplosdengan polos;
kak sampean tau ngene? (kak, kamu pernah gini?)”,
sambil menunjukkan jari jempolnya yang diapit oleh jari telunjuk dan tengah (yang dewasa pasti ngerti maksudnya). Jelas, yang begituan itu akan membuat para pecinta dunia pendidikan, galau. Ya, tak terduga adik-adik kita terlalu cepat “dewasa”!
Sedangkan menurut ahli pendidikan seks anak, pada usia kelas empat SD, seperti dikutip dari pondokibu.com (2013), seharusnya masih pada tahap pengenalan perubahan-perubahan biologis pada anggota tubuhnya.Misalnya anak mulai dikenalkan tentangtumbuhnya bulu pada kelamin bagilaki-laki atau menstruasi bagi perempuan. Pada tahap ini anak mulai distimulasi untuk mengenali bagian tubuhnya sendiri, misalnya juga mengetahui bagian tubuh tertentu yang tidak boleh dipegang orang lain. Perkembangan pengetahuan anak tentang seksualitas inipun mestinya melalui pendampingan yang serius
Lalu, terkait aktivitas serta level pengetahuan seksualitas adik-adik kita di atas, “dari mana, ya, mereka tahu? Bukankah itu terlalu cepat buat seusia mereka?” Menurut Diana (2012), seorang ahli anak, orangtualah yang seharusnya menjadi sumber utama pengetahuan seksualitas anak. Orangtua dituntut memiliki kepekaan, ketrampilan, dan pemahaman. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya selama berkegiatan di lapang, kondisi keluarga di sana sangatlah tidak kondusif untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut. Orangtua siswa sebagian besar bekerja dikebun, berangkat sebelum pagi dan pulang setelah sore. Sehingga kehadiran orangtua untuk anaknya sangatlah minim.
Jadi di sana terdapat persoalan ekonomi keluarga yang membuat situasi kurang mendukungbagi perkembangan pendidikan anak secara positif. Lalu apakah kemudian kita, sebagai pemuda terdidik, akan melakukan aksi demo atau menyebarkan hashtag tertentu untuk menuntut pemerintah agar memperhatikan nasiborangtua adik-adik kita itu, sehingga orangtua sejahtera dan mampu fokus pada anak-anaknya? Saya kira itu reaksi kuno, tidak konstruktif dan tidak memberi efek langsung dan nyata pada level akar rumput.
Sikap konstruktif dan membangun, menurut Anies Baswedan (dalam Yanuardi, 2014), masih terlihat kurang dalam gerakan pemuda. Sebab, justru sikap oposisi yang sampai hari ini masih menjadi ciri umum gerakan pemuda, seperti halnya demonstrasi, sehingga, harusnya, mulai diimbangi dengan sikap praktis yang ngena pada titik persoalan. Kita, sebagai pemuda terdidik, harus bisa berkontribusi memberi jalan keluar persoalan kemasyarakatan, agar kampus/ sekolah tidak menjadi menara gading (Husnil, 2014).
Rekayasa Masa Depan
”Akar dari pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis”
(Aristoteles, 384 SM-322 SM)
Hitungan jarak adik-adik kita itudengan tempat kita setiap hari menikmati baiknya fasilitas pendidikan, tidak jauh. Hanya hitungan “kilometer”. Mereka ada tersebar di sekitaran Pujon, Dampit, Poncokusumo, dan daerah lain yang masih relatif mudah untuk diakses, atau bahkan bisa jadi mereka ini berseliweran di sekitar kita. Akan tetapi, kak, jarak moral dan kesempatan menikmati pendidikan yang baik, bukankah terlihat amat jauh?
Maka, apa yang bisa kita kerjakan? Jawabku, hadir!
Iuran terbesar dan terpenting dalam pendidikan itu adalah kehadiran, kata Anies, dalam surat yang ditujukan kepada profesional untuk “cuti sehari, seumur hidup menginspirasi” dalam Kelas Inspirasi.
Dengan hadir, kita pangkas jarak itu!Ya, memang tidak mudah, seperti apa yang Aristoteles bilang; dunia pendidikan itu pahit.
Saya teringat apa yang terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika masih menjadi bagian dari BM. Saat itu sedang di akhir periode kepengurusan, oleh karena itu, seperti biasa, kami menyusun agenda sebagai bahan evaluasi program serta diagnosa permasalahan siswa/i yang kami ajar. Salah satu temuan yang sampai saat ini sangat saya ingat adalah tentang cita-cita adik-adik kami.
Berbeda dengan kebanyakan siswa/i lain, yang pada umumnya bercita-cita menjadi dokter, polisi, pilot, fotografer, atau tentara, adik-adik kamiini bercita-cita menjadi ustadz, penjual bakso, berkebun, atau menjadi muslimah. Inspirasi mereka terbatasdari orang yang ada di sekitar mereka, orangtua atau tetangga. Tentu bukan berarti cita-cita seperti itu tidak baik atau rendah. Tetapi, yang dapat dilihat dari situ adalah, berdasarkan pemahaman umumnya, bahwa terdapat jarak capaian pengetahuan yang terlalu lebar antara siswa/i pada umumnya dengan adik-adik kami ini, ada masalah ketimpangan kualitas pendidikan di sana.
Masalah ini saya kira persis dengan masalah seksualitas adik-adik kita di atas. Bahwa masalahnya adalah disebabkan oleh minimnya kehadiran sosok inspirator. Adik-adik kita ini membutuhkan kehadiranrole-model untuk menanamkan nilai-nilai norma, moral, serta pengetahuan yang luas sebagai bahan baku inspirasi yang belumtersediadi lingkungan sekitar mereka.
Kehadiran guru yang setiap hari mengajar adik-adik kita itu tentu menjadi perhitungan penting. Tetapi menurut saya, fungsi hadirnya kitabukan dalam bingkai formal untuk meningkatkan nilai angka mata pelajaran. Ini sudah dilakukan oleh guru. Tetapi kita hadir sebagai “teman belajar”untuk menambahpengalaman-pengalaman, mem-booster mimpi, dan merekayasa masa depan adik-adik kita.
Dengan posisi sebagai teman belajar itu, adik-adik kita dapat lebih terbuka, menampakkan “kepolosannya” yang—seringkali—tertutup oleh situasi kelas yang dibuat disiplin. Sebab, situasi tenang, teratur, dan rapi dalam kelas itu justru menjadi tempat persembunyian masalah yang sebenarnya. Dengan keterbukaan yang apa adanya, kita dapat menemukan masalah serta menentukan diagnosis moral, misalnya, dengan tepat.
Dengan posisi itu, kitadapatmenanami benak mereka dengan cita-cita. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadirkan diri kita sebagai “replika” seorang dokter, polisi, atau pilot, misalnya; memberi contoh nyata cita-cita. Selain itu, kita dapat hadir juga dengan membawa kisah-kisah inspiratif dengan berbagai cara yang unik, menggunakan alat-alat peraga audio-video-visual yang representatif, misalnya.
Cara-caratersebut, mengutip artikel yang dimuat www.dayapesona.com (2014), sangat efektif untuk menjaga imajinasi kreatif anak, dan padakontekspersoalan seksualitasdalam esai ini, dapat menumbuhkan imajinasi yang sesuai usia. Mengalihkan perhatian adik-adik kita dari dunia seks yang demikian itu. Sehingga dengan demikian, kita dapat menempatkan kembali adik-adik kita itu “ke masa anak-anaknya”.
DAFTAR PUSTAKA
Husnil, Muhammad. 2014. Melunasi Janji Kemerdekaan: Biografi Anies Rasyid Baswedan. Jakarta: Zaman.
Syukur, Yanuardi. 2014.Anies Baswedan: Mendidik Indonesia. Jogjakarta: Giga Pustaka.
Diana.“Pendidikan Seks untuk Anak: Perlu atau Tabu?”. https://www.tanyadok.com/anak/pendidikan-seks-untuk-anak-perlu-atau-tabu. (akses 23 Januari 2016)
“Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja”.www.pondokibu.com/pentingnya-pendidikan-seks-untuk-remaja.html.(akses 24 Januari 2016)
“Pentingnya Merangsang Daya Imajinasi Anak”.www.dayapesona.com/2015/03/pentingnya-merangsang-daya-imajinasi-anak. (akses 24 Januari 2016)
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV


[1] Foto kertas percakapan terlampir.
[2] Kertas percakapan ini ditemukan di kelas IV salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.


Tema: Sikap Pemuda terhadap Degradasi Moral dalam Pengabdian Masyarakat
Judul: Kak, Adik-Adik Kita kecepeten Dewasa!
Siswi a:Ara Jok tek awamu seng mari dileboni ******e Rio? Bales
(Ara     Jok punyamu yang habis dimasuki *****nya Rio? Balas)
Siswi b:Amu ambek Hendrik endek kamar wong loro
(kamu sama Hendrik di kamar berdua)
Siswi a:Ora jok(enggak, Jok)
Siswi b: Walah ngakuo amu tambah sampai mejen sampek semapot            (Walah ngaku aja, kamumalah sampai macet sampai pingsan)
Siswi a:Amu emben lak wesnduwe bojo yo ngunu ngampek pejumu ake      (kamu nanti kalau sudah punya suami, ya, begitu sampai pejumu        banyak)
            (Transkrip chatting antar siswi kelas IV sekolah dasar (SD))[1]
Chatting itu dilakukan menggunakan kertas[2], yang sengaja diperoleh teman-teman pengajar Brawijaya Mengajar (BM) dari salah satu siswi kelas IV. Chattingitu diduga terjadi saat jam pelajaran, sebab, saat diperoleh usai kelas, sobekan masih terlihat baru.
Jika dicermati, kedua siswi itu sedang saling tuduh dansaling mengelak. Keduanya terlihat saling memiliki dugaan tentang perilaku seksual yang saling mereka lakukan. Dan pada barisan terakhir chatting itu, kita dapat melihat, kak, bahwa sepertinya, pengetahuan seksual adik-adik kita telah melampui batas normal usianya. Bahkan, kalau boleh menduga, aktivitas bersetubuh layaknya suami-istri sangat dekat dengan kehidupan adik-adik kita. Atau bahkan, melihat dari keseluruhanchatting itu, sepertinya adik-adik kita itu, kak, sudah pernah bersetubuh!
Sayangnya, teman-teman pengajar tidak mendatangi langsung kedua siswi yang terlibat dalam chattingitu untuk memastikan kebenaranyang mereka cakapkan. Saya melihat ada ekspresi kaget luarbiasa dari teman-teman. Sebab, baru ini mereka menghadapi adik-adik dengan persoalan seksual demikian. Barangkali memang karena tidak memiliki spesifikasi keilmuan untuk melakukan itu. Juga, bagi mereka, perbincangan terbuka mengenai seks dengan adik-adik dianggap terlalu tabu. Ya, nyatanya kita yang dewasapun masih terhalang tembok moral untuk sekedar membicarakannya.
Tetapi, kak, bagaiamana bisa pengetahuan seks adik-adik kitasudah begitu jauhnya?
Meski tidak beroleh konfirmasi dari kedua siswi yang disangka itu, “yaitu apakah benar mereka melakukan hubungan seks dengan teman bermainnya”, tetapi temuan chatting itu tentu membuat kita tercengang, “sumpah anak SD sudah pernah begituan?”.
Minimaltranskrip itu akan mendobrakapa yang selama ini kita bayangkan tentang dunia anak-anak. Ibarat baru saja mendapat kabar terburuk, nurani kita serasa menggeliat perih. Coba, kak,mari kita plays-back masa kecil kita lewat pertanyaan, “apa yang dulu sudah kita lakukan ketika seusia SD?”. Saya yakin banyak dari kita jauh dari dunia kayak begituan. Barangkali kita menikmati masa kecil yang, saya bilang, kebetulan berada di jalan yang lebih lurus.Yah, minimal nggak gitu-gitu amat.
Seperti yang umum diketahui tentang dunia anak SD, pasti nggak jauh-jauh dari permainan, misalnya lari-larian, gendong-gendongan, dampar, jumpritan, ‘gedrek, atau sekedarsaling ledekkalau ada teman duduk bersebalahan dengan teman lawan jenis kelamin. Tetapi, transkrip chatting itu memaksa kita menghadapi kenyataan lain, “ternyata ada, ya, di sekitar kita dunia anak yang wowseperti itu?”.
Masalah seksualitas adik-adik kita itu sebenarnya sama kayak masalah korupsi. Yaitu seperti ibaratnya gunung es. Transkripchatting siswi itu sekedar temuan bagiankecil saja dari persoalan yang sebenarnya ada. Dan soal seksualitas tentu hanya satu dari sekian persoalan dunia pendidikan.
Fenomena yang serupa lainnya, yang juga secara langsung saya hadapi, adalah di salah satu SDN di Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Dari siswa/i sekolah ini, saya sering mendengar ceplosan dan tingkah adik-adik yang porno. Seperti suatu ketika seorang siswa kelas tiga, badannya agak subur,nyeplosdengan polos;
kak sampean tau ngene? (kak, kamu pernah gini?)”,
sambil menunjukkan jari jempolnya yang diapit oleh jari telunjuk dan tengah (yang dewasa pasti ngerti maksudnya). Jelas, yang begituan itu akan membuat para pecinta dunia pendidikan, galau. Ya, tak terduga adik-adik kita terlalu cepat “dewasa”!
Sedangkan menurut ahli pendidikan seks anak, pada usia kelas empat SD, seperti dikutip dari pondokibu.com (2013), seharusnya masih pada tahap pengenalan perubahan-perubahan biologis pada anggota tubuhnya.Misalnya anak mulai dikenalkan tentangtumbuhnya bulu pada kelamin bagilaki-laki atau menstruasi bagi perempuan. Pada tahap ini anak mulai distimulasi untuk mengenali bagian tubuhnya sendiri, misalnya juga mengetahui bagian tubuh tertentu yang tidak boleh dipegang orang lain. Perkembangan pengetahuan anak tentang seksualitas inipun mestinya melalui pendampingan yang serius
Lalu, terkait aktivitas serta level pengetahuan seksualitas adik-adik kita di atas, “dari mana, ya, mereka tahu? Bukankah itu terlalu cepat buat seusia mereka?” Menurut Diana (2012), seorang ahli anak, orangtualah yang seharusnya menjadi sumber utama pengetahuan seksualitas anak. Orangtua dituntut memiliki kepekaan, ketrampilan, dan pemahaman. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya selama berkegiatan di lapang, kondisi keluarga di sana sangatlah tidak kondusif untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut. Orangtua siswa sebagian besar bekerja dikebun, berangkat sebelum pagi dan pulang setelah sore. Sehingga kehadiran orangtua untuk anaknya sangatlah minim.
Jadi di sana terdapat persoalan ekonomi keluarga yang membuat situasi kurang mendukungbagi perkembangan pendidikan anak secara positif. Lalu apakah kemudian kita, sebagai pemuda terdidik, akan melakukan aksi demo atau menyebarkan hashtag tertentu untuk menuntut pemerintah agar memperhatikan nasiborangtua adik-adik kita itu, sehingga orangtua sejahtera dan mampu fokus pada anak-anaknya? Saya kira itu reaksi kuno, tidak konstruktif dan tidak memberi efek langsung dan nyata pada level akar rumput.
Sikap konstruktif dan membangun, menurut Anies Baswedan (dalam Yanuardi, 2014), masih terlihat kurang dalam gerakan pemuda. Sebab, justru sikap oposisi yang sampai hari ini masih menjadi ciri umum gerakan pemuda, seperti halnya demonstrasi, sehingga, harusnya, mulai diimbangi dengan sikap praktis yang ngena pada titik persoalan. Kita, sebagai pemuda terdidik, harus bisa berkontribusi memberi jalan keluar persoalan kemasyarakatan, agar kampus/ sekolah tidak menjadi menara gading (Husnil, 2014).
Rekayasa Masa Depan
”Akar dari pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis”
(Aristoteles, 384 SM-322 SM)
Hitungan jarak adik-adik kita itudengan tempat kita setiap hari menikmati baiknya fasilitas pendidikan, tidak jauh. Hanya hitungan “kilometer”. Mereka ada tersebar di sekitaran Pujon, Dampit, Poncokusumo, dan daerah lain yang masih relatif mudah untuk diakses, atau bahkan bisa jadi mereka ini berseliweran di sekitar kita. Akan tetapi, kak, jarak moral dan kesempatan menikmati pendidikan yang baik, bukankah terlihat amat jauh?
Maka, apa yang bisa kita kerjakan? Jawabku, hadir!
Iuran terbesar dan terpenting dalam pendidikan itu adalah kehadiran, kata Anies, dalam surat yang ditujukan kepada profesional untuk “cuti sehari, seumur hidup menginspirasi” dalam Kelas Inspirasi.
Dengan hadir, kita pangkas jarak itu!Ya, memang tidak mudah, seperti apa yang Aristoteles bilang; dunia pendidikan itu pahit.
Saya teringat apa yang terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika masih menjadi bagian dari BM. Saat itu sedang di akhir periode kepengurusan, oleh karena itu, seperti biasa, kami menyusun agenda sebagai bahan evaluasi program serta diagnosa permasalahan siswa/i yang kami ajar. Salah satu temuan yang sampai saat ini sangat saya ingat adalah tentang cita-cita adik-adik kami.
Berbeda dengan kebanyakan siswa/i lain, yang pada umumnya bercita-cita menjadi dokter, polisi, pilot, fotografer, atau tentara, adik-adik kamiini bercita-cita menjadi ustadz, penjual bakso, berkebun, atau menjadi muslimah. Inspirasi mereka terbatasdari orang yang ada di sekitar mereka, orangtua atau tetangga. Tentu bukan berarti cita-cita seperti itu tidak baik atau rendah. Tetapi, yang dapat dilihat dari situ adalah, berdasarkan pemahaman umumnya, bahwa terdapat jarak capaian pengetahuan yang terlalu lebar antara siswa/i pada umumnya dengan adik-adik kami ini, ada masalah ketimpangan kualitas pendidikan di sana.
Masalah ini saya kira persis dengan masalah seksualitas adik-adik kita di atas. Bahwa masalahnya adalah disebabkan oleh minimnya kehadiran sosok inspirator. Adik-adik kita ini membutuhkan kehadiranrole-model untuk menanamkan nilai-nilai norma, moral, serta pengetahuan yang luas sebagai bahan baku inspirasi yang belumtersediadi lingkungan sekitar mereka.
Kehadiran guru yang setiap hari mengajar adik-adik kita itu tentu menjadi perhitungan penting. Tetapi menurut saya, fungsi hadirnya kitabukan dalam bingkai formal untuk meningkatkan nilai angka mata pelajaran. Ini sudah dilakukan oleh guru. Tetapi kita hadir sebagai “teman belajar”untuk menambahpengalaman-pengalaman, mem-booster mimpi, dan merekayasa masa depan adik-adik kita.
Dengan posisi sebagai teman belajar itu, adik-adik kita dapat lebih terbuka, menampakkan “kepolosannya” yang—seringkali—tertutup oleh situasi kelas yang dibuat disiplin. Sebab, situasi tenang, teratur, dan rapi dalam kelas itu justru menjadi tempat persembunyian masalah yang sebenarnya. Dengan keterbukaan yang apa adanya, kita dapat menemukan masalah serta menentukan diagnosis moral, misalnya, dengan tepat.
Dengan posisi itu, kitadapatmenanami benak mereka dengan cita-cita. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadirkan diri kita sebagai “replika” seorang dokter, polisi, atau pilot, misalnya; memberi contoh nyata cita-cita. Selain itu, kita dapat hadir juga dengan membawa kisah-kisah inspiratif dengan berbagai cara yang unik, menggunakan alat-alat peraga audio-video-visual yang representatif, misalnya.
Cara-caratersebut, mengutip artikel yang dimuat www.dayapesona.com (2014), sangat efektif untuk menjaga imajinasi kreatif anak, dan padakontekspersoalan seksualitasdalam esai ini, dapat menumbuhkan imajinasi yang sesuai usia. Mengalihkan perhatian adik-adik kita dari dunia seks yang demikian itu. Sehingga dengan demikian, kita dapat menempatkan kembali adik-adik kita itu “ke masa anak-anaknya”.
DAFTAR PUSTAKA
Husnil, Muhammad. 2014. Melunasi Janji Kemerdekaan: Biografi Anies Rasyid Baswedan. Jakarta: Zaman.
Syukur, Yanuardi. 2014.Anies Baswedan: Mendidik Indonesia. Jogjakarta: Giga Pustaka.
Diana.“Pendidikan Seks untuk Anak: Perlu atau Tabu?”. https://www.tanyadok.com/anak/pendidikan-seks-untuk-anak-perlu-atau-tabu. (akses 23 Januari 2016)
“Pentingnya Pendidikan Seks untuk Remaja”.www.pondokibu.com/pentingnya-pendidikan-seks-untuk-remaja.html.(akses 24 Januari 2016)
“Pentingnya Merangsang Daya Imajinasi Anak”.www.dayapesona.com/2015/03/pentingnya-merangsang-daya-imajinasi-anak. (akses 24 Januari 2016)
Lampiran: Foto kertas chatting siswi kelas IV


[1] Foto kertas percakapan terlampir.
[2] Kertas percakapan ini ditemukan di kelas IV salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEDIA KREATIVITAS SI AUM

  HALO SOBAT AUM, Si Aum mau ngenalin media pembelajaran yang dibuat oleh Laskar Dewantara Batch IX dalam Pengabdian Akbar 1 Minggu 1 nih, yuk yuk dikepoin MEDIA KREATIVITAS SI AUM SDN 2 NGADAS   Media pembelajaran “Poster Abjad”, “Kertas Bergambar”, dan “Kartu Nama” dibuat oleh Laskar Dewantara Aninda Dita Cahyani dan Khusnul Khowatim untuk membantu siswa kelas 1 SDN 2 Ngadas dalam memahami  tata cara berkenalan yang baik, huruf-huruf dalam nama peserta didik, dan abjad alfabet pada materi pembelajaran Tema 1 Diriku Sub Tema 1 Aku dan Teman Baru.         Media pembelajaran “Papan Ungkapan” dibuat oleh Laskar Dewantara B Nila Trya Khasyanah dan Salsabila Azkia Syaifudin untuk membantu siswa kelas 2 SDN 2 Ngadas   dalam memahami ungkapan pada  pembelajaran Bahasa Indonesia . Media pembelajaran “ Flascard  ciri-ciri makhluk hidup” dibuat oleh Laskar Dewantara Anita Irawati dan Fadilatu Tsaniya untuk membantu siswa kelas 3 SDN 2 Ngadas   dalam  memahami bacaan ciri-ciri makhluk hidup pada

Pengumuman Lolos Seleksi Administrasi Open Recruitment Laskar Dewantara Batch XI Gemapedia 2023/2024

Lokakarya 2022: Bersinergi Wujudkan Program Kerja GEMAPEDIA yang Optimal

Dalam rangka pergantian pengurus periode 2022/2023, Gerakan Mahasiswa Peduli Pendidikan (GEMAPEDIA) mengadakan kegiatan Lokakarya pada Sabtu, 23 Juli 2022. Lokakarya tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya dilaksanakan secara daring, tahun ini Lokakarya dilakukan secara luring di Sekretariat Ormawa Universitas Negeri Malang (UM). Dihadiri oleh tamu undangan yang merupakan keluarga besar GEMAPEDIA sendiri, yakni Dewan Penimbang dan Penasehat Organisasi (DP2O), Dewantara Muda, Dewantara Ahli, serta Dewantara 2022/2023. Kegiatan berlangsung mulai pukul 07.30 hingga pukul 16.30. Lokakarya pada tahun ini mengusung tema “Optimalisasi Program Kerja yang Inovatif dan Transformatif Wujudkan GEMAPEDIA Progresif”. Latar belakang tema ini diusung memiliki tujuan untuk mengoptimalkan serta memberikan inovasi program kerja GEMAPEDIA. Lokakarya dibuka dengan pembukaan oleh MC dan dilanjutkan dengan serah terima jabatan (sertijab) dari Ketua Umum periode 2021/2022 kepada Ketua