Masih jelas
rasanya, satu setengah tahun lalu ketika saya dinyatakan resmi menjadi salah
satu mahasiswa program studi pendidikan di salah satu universitas negeri di kota
sendiri, seperti kebanyakan pendaftar yang lulus, saya sesenggukan, menangis
sejadinya, tetapi bukan terharu biru. Guru, tidak pernah tercantum di deretan
jurusan yang ingin saya tuju saat itu, yang saya ingat menjadi guru hanyalah
jawaban klise yang sempat saya berikan semasa duduk di Sekolah Dasar kepada
pertanyaan mengenai cita-cita dan sejenisnya. Dan program studi yang saya
isikan di kolom pilihan kedua ini, sempat saya jalani setengah hati.
Lucu memang, saya
yang besar di keluarga pendidik, tidak memiliki minat di bidang ini sebelumnya.
Saya tidak pernah bisa menggabungkan gambaran diri saya yang dalam
berkomunikasi saja buruk dengan pekerjaan mulia ini. Yang saya tahu, saya akan
bahagia bila menjadi mahasiswa sebuah institut di Kota Kembang yang sangat saya
inginkan atau menjadi seorang yang bekerja dengan mengenakan jas putih
kebanggaan dan stetoskop di tangan seperti impian mainstream kebanyakan siswa SMA di Indonesia.
Satu tahun
menempuh pendidikan, motivasi tak kunjung datang. Hingga pada semester ke 3,
informasi mengenai kesempatan untuk mengabdi melalui umengajar muncul. Dengan
ragu-ragu, saya menerima ajakan teman saya di hari terakhir pendaftaran. Setelah
melakukan serangkaian seleksi saya bahkan masih tidak percaya dapat diterima
dan melakukan pengabdian pertama bersama teman-teman.
Kekhawatiran
terus muncul menjelang pengabdian hingga memasuki kelas. Rasanya ingin menyerah
saja dan kembali pada tumpukan tugas kuliah yang mengantri di sudut kamar. Saya
yang awam mengenai perencanaan pengajaran hingga pembuatan metode pembelajaran
tidak berpikir ini akan berhasil untuk saya. Saya sangat takut.
Tetapi toh
kenyataannya tidak demikian. Saya malah sangat menikmati setiap proses yang
ada. Saya jatuh cinta pada udara dingin dan derap kaki anak-anak ngadas yang
berlarian untuk berbaris dan melakukan upacara bendera. Saya jatuh cinta pada
cara mereka berebut membaca nama pada tanda pengenal yang kami pakai. Saya
jatuh cinta pada antusiasme mereka terhadap kertas lipat sederhana yang saya
tunjukkan di depan kelas. Saya sangat
takjub dengan kesenangan mereka dengan kegiatan menggambar dan menulis. Seperti
ada energi aneh yang menjalar ketika mereka dapat memahami apa yang telah
diajarkan. Mungkin saya berlebihan, tetapi itulah yang terjadi.
Saya jatuh
cinta pada mengajar, dan mungkin saya baru menyadarinya. Saya merutuki
ketidakbersyukuran saya terdahulu dan batasan-batasan yang dibuat mengunakan
segala macam ketakutan dan kekhawatiran yang ada. Karena ternyata kita tidak
perlu menembus batas, tetapi justru menganggap bahwa batasan itu sebenarnya adalah
fana.
Komentar
Posting Komentar