Begitu
tau saya tergabung dalam volunteer UMengajar Batch 3, reaksi beragam datang
dari teman-teman saya: “Serius mau ngajar? Emang bisa?” “Yakin mau ke Ngadas? Disana
kan dingin.” “Eh, disana sinyal susah tau.” Sampai dengan reaksi, “Eh, serius?
Disana kan nggak ada alfamart!”. Memang, rasanya susah-susah gampang untuk
mengajar, apalagi mengajar anak SD yang terpelosok. Tapi, apa ruginya sih?
Tidak ada kata rugi dalam mencoba hal baru, apalagi jika hal itu adalah
mengabdi dan berbagi. Apalagi, ilmu itu tidak akan habis jika dibagi, yang ada
malah bertambah. Ya, dari pengabdian jilid pertama di SDN 1 Ngadas ini, saya
mendapatkan ilmu yang berharga.
Hal
yang mungkin lucu ketika diceritakan namun cukup miris ketika saya mengalaminya
adalah pengalaman saya mengajarkan lagu wajib nasional di kelas 6. Saya dan
rekan mengajar mengajak anak-anak kelas 6 untuk menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Kegiatan berlangsung cukup mudah karena mereka antusias dan masih mudah
dikendalikan. Masalah muncul ketika kami memperkenalkan lagu ‘Halo-Halo
Bandung’ yang ditulis di papan tulis. Salah seorang anak nyeletuk, “Kak, kok
Bandung sih? Saya nggak mau ah, saya nggak suka Persib! Maunya Arema!” Hal itu
kontan membuat saya kehilangan kata-kata. Tapi, untunglah, rekan saya bisa
mengajak mereka menyanyikan lagu ini. Saya jadi belajar melakukan ‘pendekatan’
yang unik kepada anak-anak yang sangat setia terhadap tanah kelahiran mereka,
yaitu Malang.
Setelah
menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung, saya menerangkan sedikit sejarah dibalik
pembuatan lagu ini. Mereka terlihat antusias dan menaruh perhatian terhadap apa
yang saya katakan. Namun, rasa antusias mereka tidak bertahan lama, karena
begitu saya mengatakan bahwa hari Sabtu tanggal 14 November 2015 itu materinya
Bahasa Inggris, mereka sontak mengeluh. Sepertinya, mereka merasa jenuh dengan
Bahasa Inggris. Banyak diantara mereka yang protes, meminta untuk melakukan hal
lain, bahkan sampai izin keluar dengan bergerombol. Suasana seketika menjadi
susah dikendalikan. Meskipun pada akhirnya situasi cukup terkendali, tapi pengajaran
Bahasa Inggris kurang maksimal.
Saat
istirahat, saya mencoba mendekati beberapa anak yang asyik makan. Setelah
mengobrol beberapa saat, kami sepakat untuk melanjutkan games setelah istirahat
usai. Namun, hal yang terjadi diluar rencana. Kelas terbagi menjadi dua kubu,
satu bagian ingin melanjutkan permainan, yang lain ingin melakukan hasta karya.
Akhirnya, kelas dibagi menjadi 3 kelompok untuk melakukan hasta karya. Kami
membagikan kardus yang sudah dibentuk sedemikian rupa menyerupai pigura,
kertas-kertas koran, dan lem. Mereka melinting kertas-kertas koran tersebut
untuk ditempel pada kardus sebagai hiasan pigura.
Saat
melakukan hasta karya, mereka terlihat antusias dan lebih mudah dikendalikan.
Mereka meminta untuk duduk lesehan, sehingga kami menggeser meja dan kursi ke
tepi agar para siswa bisa duduk santai di lantai. Kegiatan mengawasi mereka
melakukan hasta karya cukup mudah, karena mereka tidak terlalu ribut dan
berkonsentrasi penuh pada apa yang mereka kerjakan. Sesekali mereka bercanda,
mengobrol bahkan menyanyikan lagu. Tapi, meskipun mengobrol mereka tetap
cekatan dan rapi dalam mengerjakan tugas. Mereka dengan tekun dan telaten
melinting kertas koran dan menempelnya pada kardus. Sesekali, mereka membuka
lintingan yang dirasa tidak rapi dan memulai melinting lagi dengan sabar.
Karena
merasa suasana bisa dikendalikan tanpa pengawasan terlalu ketat, saya menuju
grup yang berada di pojok kiri kelas. Saya berusaha mengobrol dengan mereka,
menanyakan siapa guru favorit, pelajaran yang disukai, dan setelah beberapa
saat, mereka mulai terbuka dan bercerita banyak hal. Saya sempat bertanya,
apakah mereka suka Bahasa Inggris, dengan kompak mereka menjawab, “Tidak, kak!”
Terdengar nada putus asa dan jenuh dalam suara mereka. Ketika ditanya kenapa,
mereka bilang Bahasa Inggris itu susah. Saya pun berusaha menyemangati mereka
untuk terus belajar Bahasa Inggris. Mereka mulai bertanya-tanya Bahasa Inggris
dan sedikit pamer kata-kata yang mereka ketahui dalam Bahasa Inggris. Saya pun
memuji bahwa Bahasa Inggris mereka sebenarnya bagus, tinggal dilatih sedikit
lagi.
Setelah
beberapa saat, saya mengecek jam dan ternyata waktu kurang lima belas menit.
Saya sempat khawatir mereka tidak sanggup menyelesaikan hasta karya saat bel
berbunyi. Namun, ternyata team work
mereka sangat bagus. Mereka membagi tugas menjadi dua bagian, ada yang bertugas
melinting, dan yang bertugas mengelem serta menempel. Hal itu membuat pekerjaan
mereka menjadi cepat selesai dan rapi. Beberapa anak terlihat tidak percaya
diri dengan hasil mereka. Tapi saya dan rekan mengajar memuji mereka dengan
tulus. Pekerjaan mereka sudah bagus dan rapi, apalagi untuk standart anak kelas
6 SD.
Komentar
Posting Komentar