Namaku Alengka, aku hendak berbagi
secuil kisah yang sempat menjadi perdebatan batinku akhir-akhir ini. Di
sepanjang Bulan
Oktober, disepanjang jalan yang menjadi
titik kisahku bermula dan bermuara. Ngadas 2, sebuah gubuk literasi kecil yang
menjulang gagah di sayap Bromo, di Desa
bernama
Jarak Ijo yang menyisip di lembaran-lembaran administrasi kecamatan
poncokusumo. Aku paham betul, bagaimana beradunya perasaanku ketika mengecap sebuah kata yang berlafadz
“PENGABDIAN”. Kalian mungkin tak pernah
tahu, seseorang yang tengah
berjuang mengemban amanah yang memang sudah disumpah-serapahkan olehnya sendiri,
semua itu karena aku dan
aku yang membuat semua ini terjadi.
Mungkin sabtuku tak seperti
sabtu-sabtu yang kalian miliki. Seperti bercengkrama bersama bapak, membantu
ibu untuk sekedar mengiris bawang putih penyedap sup kaldu ayam dan sebagainya.
Pagi di sabtuku berkokok lebih pagi, lebih gelap, lebih dingin dari pagi-pagi biasanya.
Tak perlu beribu tanya mengapa demikian, yang pasti hanya ada satu, aku harus
menunaikan sumpah yang telah kuambil beberapa bulan lalu. Sumpah yang
menuntunku untuk menjadi pendidik dan
pembelajar abadi. Seperti layaknya semburat fajar yang mulai merayap dilelayang
angkasa, tak jauh berbeda dengan derap langkahku. Langkahku yang gontai memecah
embun pagi yang menyelimuti sepanjang subuh, meretas di jalan aspal menuju satu
titik, dimana tubuhku kuserahkan pada takdir yang sedang mengintip diam-diam di
belakang layar jiwaku.
Jika kalian bertanya, apa yang
aku lakukan saat itu? Aku akan menjawabnya sebuah pengorbanan. Sebuah
perjuangan yang kurelakan menjadi tumbal untuk kebahagiaan mereka, mereka yang
sedang menungguku disana, di jarak terjauh dari tatapan mata yang bisa ku
upayakan. Kalian tak mau tahu, siapa mereka? Mereka yang tengah menunggu
kehadiranku, kehadiran tapakan kakiku di lemah kering yang senantiasa
melahirkan debu jikalau angin sedang melakukan lelucon untuk sebentar meniup, dan
sebentar menghirup. Mereka yang belum pernah kukenal sebelumnya, namun setia
menebarkan tawa saat melihatku datang menghampiri dan mengelus pipi lembut
mereka. Mereka berarti bagiku, karena
mereka bagian dari sumpah yang tengah ku acung-acung di muka Tuhan dengan
tangisan yang mengalir lembut membasahi lentik bulu mataku saat itu. Satu hal
yang harus kalian tahu, aku memang belum pernah melihat mereka, meski
hanya untuk sekali. Tapi ada segelintir juang yang menjamur di dalam hatiku
setelah sumpahku terlontar, yaitu semangat juang yang membara, yang
menyala-nyala dan aku yakinkan juang itu takkan pernah padam. Takkan pernah
padam untuk menemui mereka.
Langkahku sampai dipelataran dimana perjuanganku bermula,
dan disanalah aku, mulai menancapkan kendali dan mengegas kuat-kuat komstir
matic yang menjadi tungganganku menuju mereka. Tak ada yang bisa melebihi
diriku, melebihi betapa teguh keinginanku untuk segera berjumpa mereka, dengan
segala harap dan do’a yang berlantun, yang senantiasa dorong-mondorong menuju Kuasa-Nya
yang tinggi disana. Entah takdir atau apapun itu, aku merasa hatiku tertaut
erat terhadap mereka. Sama sekali tak terbesit dipikiranku untuk berhenti,
walau sesaat. Aku hanya ingin sampai disana, segera dengan segera. Karena
dengan seperti itu, aku merasa sudah bisa memenuhi satu tahap sumpahku, dan
terbebas dari serangkaian vonis tak benar yang mungkin diarahkan padaku. Kalau
kalian tahu, bagaiamana rasanya ketika melintas di sepanjang lereng gunung
terjal, begitupun aku sama, bahkan untuk kali pertama aku melaluinya. Jalan
berliku, tanjakan terjal, tikungan tajam menjadi pengamat yang senantiasa
membakar rasa juangku untuk mereka. Sampai tibalah aku di sayap Bromo, di
sepandang tempat yang ku kecap untuk pertama kalinya. Dengan gelora tawa yang
begitu megah, sampai ku tahu tidak ada kemegahan suara yang melebihi kemegahan
teriakan tawa mereka, saat aku pertama menginjakkan kaki tepat di depan mereka.
Di sebuah Gubuk Literasi berplakat “SDN NGADAS 2”.
Jika kalian bertanya siapa mereka? Aku akan menjawab
cinta. Mereka adalah cintaku, benih yang ku tanam dan siap ku rawat dengan
kasih sayang. Yang kelak ku do’akan dapat membangun peradaban negaraku dengan
sangat baik, saat ketika raguku sudah tiada bisa berpijak lagi disini. Mereka
adalah sebuah semangat yang membuat pagiku benar-benar berarti. Merekalah
adalah pewaris sepenggal ilmu yang kelak akan kusuapkan.
Perjumpaan pertama kami begitu
istimewa, karena sejujurnya rasa syukur yang begitu dalam yang sengaja
kuucapkan, sempat memecah huru-hara di rakyat langit yang tengah memetani
diriku diam-diam. Aku memanggil mereka, adiak. Kalian tak perlu
bertanya, aku memang bukan dari tanah minang, namun perlu kalian tahu, aku
memanggilnya dengan sebutan cinta, bukan sebutan yang memang pantas disematkan
untuk mereka. Perkenalanku
berlanjut saat memasuki bilik dimana mereka akan menerima ilmu dan
beragam pengalaman baru di lembar kehidupannya. Tak perlu banyak ucap dan
berbasa-basi, dengan sepenuh hati ku sapa mereka, dan jika kalian tahu, sapaan
itu tak pernah hilang mangsa, karena merekapun dengan lantang menjawab apa yang
terlontar dari bibir kecilku. Bersama mereka aku belajar bagaimana belajar
berbagi, menerima setulus hati masing-masing sifat manusia. Dari merekapun aku
belajar bagaimana untuk tidak mengedepankan ego, melatih untuk melapangkan dada
yang seluas-luasnya dan mencoba memahami apa yang orang lain coba sampaikan
pada kita. Tak sampai disitu, aku mencoba berbaur dengan mereka lebih dalam, ku
biarkan mulut lugu mereka bercerita tentang apa yang dihabiskannya setiap hari,
tepanya sebelum aku menapakkan jejak langkah di tempat ini. Beragam, cerita
yang disusun menjadi narasi dan tertawa yang mengikik diantara kami menjadi
penanda bahwa aku diterima dihati mereka, menjadi bagian dari memori yang
tersimpat kuat di salah satu bilik dihatinya, yang paling dalam dari apapun
yang terdalam. Detik demi detik, menit
demi menit, jam berganti jam berlalu dengan cepat, sampai tiada sadar, waktuku
menimang mereka tengah selesai. Tak perlu bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya,
pasti adalah salam perpisahan yang harus terangkai dari kerongkongku yang
gersang. Meski hanya beberapa deret untaian, namun percaya atau tidak, begitu
sulit untuk ku sajikan pada mereka. Namun yang pasti, dengan segala mereka
mendekat dan mengambil tangan kananku. Bukan untuk bermain, melainkan untuk
menandakan bahwa hari itu aku telah selesai bersama mereka, dan mereka tengah selesai
denganku. Aku mengantar mereka sampai depan kelas, melambaikan tanganku yang
turut mengiringi perjalan pulang kembali kepada rumah dan keluarga mereka.
Pernahkan terbesit pada hati kalian, apa yang sebenarnya
kulakukan?, jikalau tak salah dipahami, aku sedang mencoba mengubah haluan
bangsa, menjadi lebih baik nantinya, tak perlu dimaknai dalam-dalam cukup
diketahui dan dimengerti. Kalian juga tahu, betapa banyak harap kita pada
anak-cucu kelak. Kehidupan tua yang damai, bersamaan dengan mereka yang
senantiasa mencintai dalam-dalam. Melihat mereka yang tengah menduduki
kursi-kursi berpoles emas dan tertawa dengan keluarga besarnya karena peluh
yang kita teteskan untuk mereka dulu. Kalian akan menjadi saksi, bagaimana
mereka kelak mengubah hidup kita kedepannya. Pasti, pegang kata-kataku yang
demikian.
Tak bisa dibayangkan, tak bisa diungkapkan. Hanya
berbekal sepenggal harap dan tekad kuat. Aku tetap mengunjungi mereka, tidak
setiap hari, namun hanya sabtu pagi yang selalu mengepulkan rasa rindu, pada
keluguan dan nakalnya tingkah laku mereka. Dan sabtu ini, sabtu pagi di
penghujung oktober, di hari dengan bertorehkan angka 27 di kalender tiap-tiap
gubuk disana. Aku mendatangi mereka, untuk yang terakir kalinya, terakhir kali
aku akan membimbing mereka, terakhir kali aku akan tertawa bersama mereka,
terkahir kali aku akan berbagi secuil kisah pada mereka, terakhir kali aku akan
menyentuh pipi lembut mereka, terakhir kali aku akan mendengarkan cericit
keluguan yang keluar dari mulut mereka, terakhir kali aku akan melihat senyum
dari bibir dan gigi ompong mereka. dan seolah ini adalah terakhir dari kisah
yang paling akhir yang akan ku lukis bersama mereka disini. Segala do’a ku
ucap, segala harap ku panjatkan. Untuk mereka dan karena hanya untuk mereka.
Kembali lagi
ku kecap senyum dan tawa mereka, saat kakiku melangkah masuk ke dalam kelas.
Tak ku temui raut sadar bahwa hari ini aku akan berpamitan dengan mereka untuk
terakhir kalinya, mereka hanya tersenyum dan merengek minta bermain dan
bernyanyi lagi seperti sabtu-sabtu lain yang telah berlalu. Ku berikan cuma-cuma
sebagai bagian dari kenangan indah terkahir yang bisa ku ukirkan di hati
mereka. kami bermain bersama, menyelipkan beberapa kain dan selendang, mahkota
dan tiara, medali dan piala, yang setia mendekap di tubuh-tubuh kita. Saat
itulah, saat diterik matahari yang mulai meranggaskan ubun-ubun, kami mengukir
satu kisah yang tiada bisa terlupa sampai bila-bila. Kami bergandeng tangan,
bernyanyi, menari, merangkum masa-masa indah yang akan memang kami kenang untuk
seterusnya. Deburan angin, detak jantung dan gemuruhnya tawa menjadi ketukan
termanis yang pernah diketukkan. Masih sempat kutahankan apa yang benar-benar
terbendung di dasar jantungku. Kalian mau tahu apa? Yah, air mata. Air mata
yang siap meledakkan badainya yang sengaja ku tahan kuat-kuat agar tak menetes
dan membuat mereka turut bersedih. Tak mungkin aku mengusap air mata dikala
mereka sedang menggelar tawa selebar-lebarnya. Meski aku tak bisa merusak
keyakinanku sendiri bahwasannya aku tak bisa menahannya bahkan untuk seperempat
jam lagi, aku tetap melakukannya. Kami pun menyampatkan diri untuk arak-arakan
desa, berkeliling untuk bertegur sapa pada penduduk sekitar. Yah, tepatnya
untuk mengucapkan salam terakhir, salam tanda perpisahan. Kami menghabiskan
siang dengan bersenandung di sepanjang jalan utama desa, tanpa luka, tanpa duka
yang menyertai. Dan aku merasa menjadi bagian dari meraka, bagian yang mungkin
takkan pernah bisa disapu ruang dan waktu. Bagian yang menyatu dalam lorong
jantungnya, yang menempati bilik termegah di jantung hatinya, yang senantiasa
diingat ketika sabtu pagi kembali tiba menyapa pagi mereka.
Sampailah kami
di halaman sekolah, ditempat biasa kami berkejaran dan bermain peran bersama,
dan saat itu lidahku mendadak kelu, sulit terucap, bahkan hanya untuk sekedar kata
yang tak pernah bisa dikeluarkan oleh bibirku, oleh hati yang tak pernah bisa
berdusta, bahwa perpisahanku dengan mereka akan menjadi balada tersakit yang
mendera dadaku untuk seterusnya. Aku bersumpah, saat itu menjadi titik lemah
diriku, air mataku meluap, tangis tak bisa kuhindari. Dan siang ini, perpisahan
itu terjadi, dengan berat hati aku melepas mereka, memberikan salam teindah
yang akan dijawab oleh mereka untuk
terakhir kalinya. Aku memeluk satu-satu mereka, mendekap erat dan memberi
isyarat seakan memang begitu beratnya aku melepaskan tubuh mereka. Pada
akhirnya, aku turut mengantar mereka sampai halaman sekolah dan melambaikan
tangan tinggi-tinggi dengan air mataku, dengan senyum perpisahan dan lambaian tangan
dari pipi mereka. Seraya berteriak,
“semoga kelak,
engku menjadi orang berguna, adiak”,
Samar-samar
sosok mereka menghilang, jauh-jauh sampai akhirnya ku sadari raga mereka yang
memang sudah tidak bisa terlihat oleh mataku lagi.
Disini, di
tempat ini, di detik ini, di menit ini, di jam ini, di hembusan angin seperti
ini, di detakan jantung seperti ini, di dingin seperti ini, di rasa hatiku yang
sedang keram seperti ini, aku bersimpuh, melantunkan segelintir do’a dan
mengucap janji, bermonolog dengan hati,
“tiada
nikmat yang paling indah, selain melihat mereka kelak menjadi orang besar yang
bisa mengubah takdir masing-masing mereka duh Gusti. Kiranya engkau sudi
merangkum do’aku dan menyimpannya di Lauhul MahfudzMu, karena saat ini, rasa
syukur yang mendera ku tidak bisa terganti, duh Gusti hamba yang Maha Pemurah.”,
Siang itu
menjadi hari yang paling diingat di penghujung oktoberku. Dimana aku dan segala
tapakku akan di kenang oleh semua hal disini. Jeritan, luka, tawa, kegilaan dan
segalanya akan abadi bersama segala yang abadi disini. Dan kini kalian tahu
siapa aku yang sebenarnya. Nama Alengka yang menjadi julukan untukku, Tidakkah begitu?
Kau tahukan siapa aku?
Ikuti informasi terbaru dari kami di :
"Bangga Mendidik, Mengabdi, dan Menginspirasi Anak Bangsa"
Komentar
Posting Komentar